In Memoriam Mafri Amir: Wartawan, Akademisi, Ormas dan Kantor Wapres

Menengok jauh ke belakang, koran pertama yang terbit di Indonesia Bataviasche Nouvelles, pada zaman VOC sekitar tahun 1745. Isinya hanya memuat aneka berita tentang kapal dagang VOC, mutasi pejabat, berita pernikahan, kelahiran dan kematian. Pembacanya pun masih terbatas warga Belanda sendiri. Koran ini terbit seminggu sekali sebanyak 4 halaman. Semua beritanya ditulis tangan. Koran ini kemudian berkembang pesat dan berubah menjadi koran yang berisi kritik terhadap perbudakan di Batavia dan perilaku penguasa VOC ketika itu.
Tepat pada 20 Juni 1746, koran pertama ini pun menjadi yang pertama kali dibredel seperti diceritakan dalam buku "Toko Merah: Saksi Kejayaan Batavia lama di Tepi Muara Ciliwung" karya Thomas B. Ataladjar. Lihat: Ini Dia Koran Pertama yang Terbit di Indonesia - Citizen6 Liputan6.com (Akses, 27/12/2021).
Bagaimana di Sumbar?. Koran pertama di Sumbar, terbit 1859 bernama Sumatera Courant di Padang. Menurut Khairul Jasmi (KJ), link: Pers Sumatra Barat: ~ Khairul Jasmi (akses, 27/12/2021). "Meski suratkabar ini lahir sebelum abad ke-20, tetapi dinamika persuratkabaran di wilayah ini baru terasa pada awal abad itu hingga menjelang kemerdekaan Indonesia".
"Sejumlah nama penting dalam dunia jurnalisme masa itu antara lain, Mahyuddin Datoek Soetan Maharadja, Rohana Kudus, Sa'adah Alim, Abdullah Ahmad, dan Adinegoro serta Hamka pada generasi berikutnya. Tercatat pula sebuah nama lain yang tak kalah pentingnya, Ahmad Chatib, pemilik suratkabar Djago Djago dan Pemandangan Islam".
KJ mengatakan, sejak 1859 sampai kemerdekaan, tercatat 81 penerbitan di Minangkabau. Sejak kemerdekaan hingga kini tercatat 41 suratkabar, termasuk 23 yang terbit setelah jatuhnya presiden Soeharto. Daftar panjang suratkabar ini jadi bukti sejarah bahwa Minangkabau telah lama akrab dengan teks dan kata-kata.
KJ menguraikan, "kepiawaian menulis atau mengeluarkan pendapat berpendaran di halaman-halaman surat kabar. Media massa menjadi sarana melancarkan perbincangan dan polemik. Mula-mula tentang kebangkitan Asia, Jepang, lalu format masa depan negara. Tak luput juga tentang bagaimana agama Islam seharusnya dipahami dan dijalankan. Pesertanya kaum tua dan muda. Perdebatan agama inilah yang malah berlangsung tajam".
Bagaimana terbitan pers digital sekarang? Menurut Dewan Pers: Ada 43 Ribu Media Online, Hanya 168 yang Profesional (idntimes.com) (Akses, 28/12/2021). Bayangkan berapa berapa jumlah di Sumbar (?). Belum lagi media sosial FB, IG, Link, LinkdIn, WeChat, Telegram dll. Semuanya menjadi media bebas dalam relasi subyek dan obyek, seseorang dengan orang dan kelompok dan grup lain. Dengan medsos, setiap orang menjadi wartawan untuk dirinya sendiri. Bebas, tidak ada redaktur yang filter, seleksi dan edit. Itulah yang sekarang disebut netizen, citizen journalism atau jurnal warga. Agaknya boleh disebut surat kabar tanpa penerbit, tanpa editor, tapa tanggungjawab. Bagi pers resmi ada UU Pers 1999 dan 2016.
Bagi bagi pers online tetap belaku UU Pers . Tetapi blog, web pribadi, jurnal bebas online tampaknya belum menampung hoak dan berita bohong yang tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaski elektronik. Banyak pakar hukum mengaitkan setiap kebohongan itu dapat di hukum dengan hukum pidana sesuai sifatnya bermutan kesusilaan, perjudian, penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pemerasaan dan atau pengancaman, SARA, kekerasan atau menakut-nakuti dsb. Yang semua dapat dikaitkan dengan beberapa Pasal 28 dan ayat di UU ITE tadi.
Bagaimana dengan hoax dalam media sosial dan jurnalistik warga yang tak terkait hal-hal tadi? Tulisan insinuatif, mengada-ada, meme, dan dialog yang tak berdasar yang mencederai akal sehat dan hati-nurani bersih? Itu semua harusnya difilter oleh subyek atau yang bersangkutan sebagai sumber. Bagaimana dengan Hoax dan pembohongan public online? Paling ada klarifikasi dari subyek atau obyek. Oleh karena itu setiap orang haru melek atau safar literasi online dan liteasi digital. Apalagi public figure atau tokoh public. Teruslah waspada. Hal ini sering kami diskusikan dengan MA dan beberapa teman yang intensif mengikuti perkembangan media.
Pada kajian lebih filosifis, kini disebut era post truth-pasca kebenaran. Orang lebih percaya kepada medsos, apa dan siapa sumbernya tak peduli. Bahkan ada yang lebih poercaya hoax daripada hasil penelitian dan uraian akademisi. Sejak beberapa waktu terakhir Mark Zukenberck menjejal dengan apa yang diebut Metaverse. Facebook telah berubah menjadi Meta. Penggambaran semesta virtual , diakses oleh virtual reality (VR). Raksasa teknologi itu mengejar peluang metaverse secara reolusioner dan amat agresif. Dunia nyata fisik berubah kepada jejaring dan artificial intelligent (AI), meski belum tuntas konsepnya.
MA terampil menggunakan kedua media tradisional dan IT ini. Setiap saat MA ke berbagai negara, saya selalu dikirimi bukan hanya foto tetapi video instant. Ada yang dengan caption keterangan gambar lenhkap. Ada pula yang saya saja menafsirkan MA sedang di mana. Apakah seadang di London, Paris, Amsterdam atau sedang di dalam KA dari New York ke Washington DC. Beliau banyak mengadakan perjalan luar negeri, lebih-lebih selama di Kantor Wapres RI dalam dua periode berjarak kamrin itu.
Journalist: Shofwan Karim
Editor: Shofwan Karim
Source: https://www.shofwankarim.id/