Perspektif Islam tentang Gender

Dowling merasa bahwa sudah sepantasnya dia berperan sebagai ibu rumah tangga, setelah 'terpaksa' berjuang sendiri menghidupi diri dan anak-anaknya selama empat tahun ketika dia menjada.
Dowlingpun tak habis pikir, tidakkah Lowell merasa bahagia karena dia berhasil menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan baik? Rumah yang teratur rapi dan cantik, kue-kue pastel buatan sendiri yang lezat, kasur dengan seprei kencang dan bersih selalu, servis yang memuaskan bagi teman-teman Lowell yang datang berakhir pekan di rumah mereka?
Karena sebelumnya Dowling adalah penulis bebas, maka kegundahan itu dituangkannya di dalam satu artikel di majalah New Yorker. Tak lama kemudian betumpuk-tumpuk surat datang kepadanya, menumpahkan perasaan yang sama dengan kasus yang hampir-hampir mirip pula. "Anda tidak sendirian'' tulis sebagian besar surat-surat itu.
Seorang wanita lain mengatakan ia berhenti dari pekerjaan karena merasa suaminya sudah lebih dari cukup. Namun apa yang terjadi kemudian ? "Saya terombang-ambing antara rasa bersalah karena saya bersandar sepenuhnya kepada suami saya, dan kemarahan saya karena dia mempertanyakan hak saya melakukan hal itu".
Begitulah kemeranaan wanita --para isteri dan ibu — Barat, saat lingkungan telah merenggut hak perlindungan dan penafkahan yang seharusnya merek dapatkan. Inilah sebuah kepanikan 'gender'. (Rahayu, 1996: 20-22)
Bagaimanakah kenyatan empirik-kontekstual dewasa ini di Indonesia ? Apabila bias gender ditengarai masih amat tajam di Indonesia tentulah semua orang maklum. Akan tetapi kenyataan menunjukkan sudah ada perubahan yang signifikan dalam perolehan kesempatan pendidikan misalnya, meskipun masih ada yang beanggapan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi seperti saudaranya yang laki-laki, tetapi semakin hari bagi yang ekonominya semakin membaik, bias itu sudah semakin mengecil.
Begitu pula kesempatan memperoleh kedudukan dan posisi di eksekutif, legislatif, yudikatif , dunia usaha dan swasta. Sekarang terbuka lebar untuk menduduki posisi kunci pada berbagai posisi tadi.
Yang paling anyar tentulah peluang perempuan untuk ikut berpacu dengan kaum pria merebut kedudukan di legislatif pada Pemilu 2004. Dengan UU No. 12 Tahun 2003 pada pasal 65 dinyatakan bahwa masing-masing partai politik dapat mencalonkan perempuan sedikitnya 30 persen dari jumlah yang diajukan. Pertanyaannya tentu bukan lagi persoalangender balance, tetapi apakah para perempuan sudah siap?
IV Penutup
Landasan normatif-tekstual klasik tentang gender sudah ditafsir ulang oleh para feminis muslim. Soalnya sekarang bagaimana memahami pendekatan baru itu secara proporsional dan bagaimana membumikan pemahaman filosofis-teologis yang serasi dengan sosio-teologis yang tepat dan komprehensif. Sehingga Islam sebagairahmatan lil alamin menjadi inspirasi dan motivasi dalam PUG. Tentu saja pengalaman emprik-kontekstual akan pula sangat menentukan. Disinilah peranan kearifan lokal dan tradisi ethnis yang disebut adat, bersamaan dengan tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan dan penguasaan ilmu dan teknologi akan membuat kesetaraan gender akan semakin terealisasikan.
KEPUSTAKAAN
Journalist: Shofwan Karim
Editor: Anton Hilman
Source: https://eskaelhussein.wordpress.com/2020/10/21/perspektif-islam-tentang-gender/
Related news
- International Visitor Leadership Program of US Department of State "Grassroots Democracy" II
- Catatan IVLP: Persahabatan Lintas Benua
- Bung Karno dan M Natsir Berbeda Corak Pemikiran, Satu Tujuan untuk Indonesia
- Setitik Kisah Pribumi Indian Pueblo New Mexico
- Menolak Lupa: Natsir dan Sukarno, Lain Garis Satu Perjuangan
Catatan IVLP: Persahabatan Lintas Benua
Kolom Shofwan Karim - March 20, 2025
Setitik Kisah Pribumi Indian Pueblo New Mexico
Kolom Shofwan Karim - March 13, 2025