Menolak Lupa: Natsir dan Sukarno, Lain Garis Satu Perjuangan

Sunday, March 9, 2025 09:37 AM | Kolom Shofwan Karim
Menolak Lupa: Natsir dan Sukarno, Lain Garis Satu Perjuangan
Natsir dan Soekarno (Foto Internet)

Di lain pihak M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tetapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Baginya Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri. Sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploitasi manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan.

Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhaan ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair. (M. Natsir, 1973:9).

Semua lontaran Sukarno di atas tadi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Oleh Natsir dan penulis-penulis Islam lainnya, garis tegak prinsip Sukarno dianggap besar resikonya untuk pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia.

Mereka menganggap Sukarno belum tahu dengan sungguh-sungguh duduknya hukum dan hudud dalam Islam, karena Sukarno baru saja mempelajari dan mencintai Islam sebagaimana diakui sendiri oleh Sukarno. Bahwa Sukarno baru saja memeplajari Islam waktu itu, dapat dibaca dalam kumpulan surat-suratnya dari tempat pengasingan Ende (Flores) kepada A. Hasan, Guru Persis Bandung. Surat-surat itu kemudian diterbikan oleh Persis Bandung, 1936.(Ibid :429)

Sumber pengetahuan Sukarno tentang Islam oleh para pembela Islam waktu itu dianggap belum bisa dipertanggungjawabkan. Sukarno lebih banyak bersumber menyandarkan pikirannya kepada kalangan non-Muslim. Sumbernya adalah rujukan yang ditulis dalam Bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis atau bahasa Barat lainnya.

Beberapa penulis mengklarifikasi pendapat-pendapat Sukarno itu, antara lain A. Hasan, "Membudakkan pengertian Islam" , dimuat berturut-turut dalam majalah Al-Lisan. Sementara itu Hasbi Ash-Shiddieqy menulis dalam Lasykar Islam (Ibid, h.430].

Natsir yang mendukung faham kesatuan agama dan negara, mendebat hujah-hujah Soekarno. Natsir menolak idealisasi Sukarno terhadap konsep Mustafa Kamal yang mengajak: "Lepaskanlah Agama dari Negara. Jangan Agama itu diperlindungi juga, supaya Agama itu tidak jadi Agama "kunstmatig", supaya rakyat bisa menjelmakan idealnya Islam itu dengan ia punyalevensstrijd, dengan gerak idealnya ia punya jiwa dan tenaga, " dan sebagainya. (Ibid:469).

Terhadap pernyataan Soekarno di atas tadi, selanjutnya Natsir berkata:

Kita bukan suka kepada Agama kunstmatig (buatan). Barang siapa memperhatikan perjuangan penduduk Indonesia dalam seperempat abad akhir-akhir ini, akan cukup mengetahui, bahwa dalam pergerakan kita kaum Muslimin di Indonesia, sesungguhnya Agama itu adalah sebagian dari levens strijd (kehidupan yang nyata) kita. Baik dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik.

Akan tetapi lihat pula teman-teman kita di Turki sana. Mereka telah berjuang. Mereka telah mendapat kemenangan. Mereka mengaku adalah putera-putera Islam. Tetapi setelahnya mereka mendapat kemenangan dan kekuatan, bukan mereka verwerkelijken (menyadari) cita-cita ke-Islaman mereka, melainkan mereka tindas pengaruh Islam itu berangsur-angsur. (Ibid).

Pages:
1 2 3 4 5 6 7 8 Next

Journalist: Shofwan Karim
Editor: Anton Hilman
Source: Buku Shofwan Karim

Share:

Related news

link ke situs https://shofwankarim.wordpress.com
Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau
link ke situs https://www.shofwankarim.com
Link ke situs https://www.shofwankarim.id/
https://langgam.id/tag/shofwan-karim/
shofwankarim.livejournal.com
kumparancomshofwankarim